Matahari telah naik menunaikan tugasnya menerangi bumi. Di pagi yang cerah ini walaupun jam sudah menunjukkan pukul 7, tapi aktivitas di pondokan kami masih minim. Apalagi bagian bawah pondokan. Para penghuni lantai bawah masih asyik di buai mimpi. Hal ini menjadi pemandangan biasa bagi kami. Terutama di masa liburan ini jelas aktivitas akademik masih terasa kurang dan hampir tidak ada. Contohnya saja rais.salah seorang penghuni pondokan yang telah mengkahiri masa lajangnya di tahun 2007 kemarin ini masih terlelap di depan tv nya. Stik ps 2 tergeletak begitu saja di dekatnya. Rupanya semalam suntuk dia bermain game bersama adiknya riza yang awalnya saya kira adalah kakanya karena berperawakan lebih tinggi darinya.
Sementara itu di kamar sebelahnya tidak tampak aktivitas apapun, karena penghuninya yaitu eki sedang pulang kampung. Ada beberapa penghuni yang memang sedang tidak ada di tempat saat ini. Seperti sukri dan aziz yang sekamar berasal dari polmas, kemudian ada narti yang kadang datang dan kadang pula pergi serta ani, sang preman sekaligus bendahara pondokan bawah yang baru tadi pagi pulang lagi ke kampungnya setelah mengurusi KRS nya selama beberapa hari kemarin.
Lain lagi di kamar kedua dari sebelah kanan dekat pintu masuk,yaitu kamar milik dian. Kamar yang tidak pernah sepi.kamar yang pemiliknya mempunyai nama yang indah, dian. Begitu panggilannya. Tapi saya tidak pernah menduga kalau nama lengkapnya adalah la ode rahadian. Ya, dian adalah seorang laki-laki dan berasal dari raha sulawesi tenggara. Konon orang dengan nama la ode adalah keturunan bangsawan dan terpandang di kampungnya. Teman-teman dian yang selalu datang tidak pernah mempermasalahkan itu, dan dian pun enjoy saja ketika berbagi tempat tidur bersama teman-temannya hingga kamar itu penuh sesak. Terkadang adiknya, ambo yang bernama asli Harlan harus “mengungsi” di kamar lain. Pribadi dian sangatlah unik, terutama yang selalu kami perhatikan (saya dan patang) adalah lagu-lagu yang di putarnya. Hampir semua aliran musik pernah hinggap di computer miliknya dan terdengar manis melalui speaker besarnya. Dan dian tetap menikmatinya. Mulai dari jenis musik punk, rock, pop, dangdut, acapella, alternative, jazz, instrumental, nasyid, lagu bugis, toraja,mandarin atau sebut saja aliran musik lain-lain semua ada disitu. Seolah telinga Dian adalah speaker itu sendiri yang bersedia menjadi media penyalur keinginan lagu-lagu itu untuk diperdengarkan. Dian bagaikan stasiun radio yang bebas memutarkan lagu jenis apa saja. Jika anda mencari lagu kesukaan anda dan belum menemukannya baik di internet ataupun di teman anda, mungkin bisa tanyakan pada dian, siapa tahu dia punya.
Kalau speaker dian adalah salah satu yang terkeras di pondokan, maka suara dwi adalah yang terlantang (tercempreng, bagi sebagian orang) diantara penghuni disini. Beberapa waktu ini dwi terlihat mempunyai kesibukan baru. Perhatiannya tercurah pada sebuah pot yang berisi tanaman mungil yang menurut saya mirip dengan tanaman talas. Hanya saja seperti talas yang sengaja dibiarkan kerdil. Saya teringat pada sebuah seni merawat tanaman yang berasal dari jepang yang lazim disebut bonsai. Tetapi sepertinya tanaman ini memang berjenis kecil. Dwi juga lupa menanyakannya sewaktu dia membelinya. Setelah beberapa waktu merawatnya, akhirnya dwi mnemukan tempat yang tepat tanpa perlu terlalu memeras otak untuk menjaganya. Walhasil tanaman itu diletakkan bersama tanama lain yang telah di pelihara oleh Andis di samping pondokan dekat jemuran.
Keasyikan terbuai mimpi dikala pagi kadang bisa terhenti ketika suara mace penjual kue yang selalu setia mendatangi pondokan kami terdengar lantang. Suara mace inilah yang bisa menandingi volume suara dwi, tapi karena mace ini orang luar maka beliau tidak masuk hitungan. Teriakan khasnya akan mengundang dan membius para pnghuni pondokan baik atas maupun bawah. Satu persatu penghuni pondokan akan keluar dan sekedar menghampiri mace tersebut. Fitri yang kamarnya berhdapan dengan andis di ujung lorong pondokan ini mulai keluar dengan piring dan uang di tangannya. Biasanya akan diikuti penghuni yang lain. Benar saja, tak berapa lama didin di kamar depan pun ikut keluar, menyusul andis kali ini tanpa piring. Dwi juga sering membeli kue di mace ini dan mentraktir saya dan ptang, tapi sejak tadi malam kamarnya terkunci hingga pagi ini. Mungkin sedang menginap di rumah kakaknya.
Tak berapa lama, transaksi pun selesai dan mace melanjutkan perjalanannya menjajakan kue dari pondokan satu ke pondokan lain. Sungguh gigih mace itu menjalani hidup. Walaupun sampai sekarang tidak diantara kami yang tahu nama mace itu. Dia tidak gentar akan arus makanan fast food yang semakin menarik dari hari ke hari. Dengan kue tradisionalnya ia tetap mempertahankan mutu dan menjaga selera. Itu sebabnya anak-anak pondokan selalu menantikan kehadiran kue-kuenya sebagai sarapan di pagi hari.
Hari makin siang, jarum pendek dan panjang di jam dinding kamar yang baru beberapa hari ini bisa berjalan kembali telah menujukkan pada angka 10, tapi pondokan di bawah ini masih sepi, hanya terdengar samar-samar suara televisi dari kamarnya andis. Ah pemandangan seperti ini biasa dan selalu begitu.