Sabtu, 26 Juli 2008

Somba opu, kepingan sejarah yang sedikit kusam

Matahari sore ini yang masih sedikit menyengat terlihat simetris diantara muara sungai jene’berang dan laut sulawesi. Pemandangan ini saya dapatkan dari tepi sungai dekat benteng somba opu. Sementara itu riak-riak sungai menghantam pinggir daratan tempat saya berpijak tapi hanya pelan saja. Karena gelombang air itu ditimbulkan oleh perahu penyeberangan yang mengangkut dua sepeda motor, dua orang anak kecil, seorang ibu dan seorang gadis dengan kecantikannya yang terpancar meskipun dari tempat saya berdiri bisa dipastikan sama dengan jarak antara dua buah gawang sepak bola. Cantik khas sulawesi, entah apa yang mendorong saya mengklaim demikian. Yang jelas jika anda melihatnya pasti anda tidak akan setuju bila gadis itu dikatakan berasal dari pulau jawa, Sumatra, Kalimantan apalagi papua.

Perahu itu kini merapat, satu-satu penumpangnya turun dan melanjutkan perjalanannya masing-masing. Begitu juga gadis itu. Mata saya beralih kembali kearah seberang tempat perahu tersebut berangkat. Rupanya sekeliling tempat ini dikelilingi dengan bangunan kuat yang disebut benteng. Mempertahankan, mungkin begitu maksud pembuatannya.

Batu tela, begitu di kampung saya menyebut batu berwarna merah yang merupakan bahan utama penyusun sebuah bangunan yang di tempel bersama campuran semen dan pasir. Benteng ini pun disusun berdasarkan bahan yang sama. Hanya saja pada abad ke-15 sewaktu benteng ini dibangun oleh kesultanan gowa, belum ada semen. Jadi bahan perekatnya diganti dengan tanah liat. Di tempat lain, menurut cerita putih telur digunakan sebagai perekat. Entah ini juga berlaku pada benteng ini atau tidak.

Sepanjang wilayah yang dikelilingi oleh benteng ini didiami masyarakat yang umumnya adalah suku makassar. Ada juga pendatang dari daerah lain tapi tidak seberapa. Pemerintah telah membangun beberapa bangunan rumah adat suku-suku yang ada di sulawesi selatan. Tongkonan dari toraja, balla lompoa, rumah luwu, dan tentu saja balai somba opu telah saya lewati sebelum sampai di pinggir sungai ini. Ada juga museum khusus yang dibuat untuk mengenang karaeng pattingaloang, seorang bangsawan yang terkenal karena kecerdasannya. olehnya itu gelar ilmuwan bolehlah dilekatkan padanya. Masa itu dimana galileo baru berencana mengintip bintang, karaeng pattingaloang dari langit makassar telah melihatnya terlebih dahulu. Kisah unik ini saya dapatkan dari kliping punya ka yusran yang diperlihatkan oleh dwi di pondokan.

Entah mungkin ini perasaan saya saja, tapi ketika tadi melihat rumah adat itu yang terkesan usang dan tidak terurus membuat saya hanya menengoknya sekilas. Tidak ada keinginan untuk mencermati ukiran dan lukisan yang terpahat di badan rumah-rumah adat itu. Jiwa budaya saya yang mungkin masih kurang. Padahal ukiran dan lukisan yang ada di bangunan itu pastilah sangat sulit di buat dan dibutuhkan keterampilan serta ketekunan yang tinggi untuk menjadikannya sedemikian rupa.

Hal ini mungkin bisa jadi penyebab kurangnya orang yang datang melihat adikarya bangsanya sendiri. Rupanya keelokan mall dan taman hiburan lebih dari cukup untuk memuaskan pandangan mata terhadap nilai-nilai budaya. Bisa dihitung dengan jari orang yang berkunjung. Tadi sempat ada turis yang datang, tapi ia hanya lari sore bersama teman lokalnya.

Matahari mulai turun pelan-pelan. Kali ini teriknya tidak sekeras tadi. Dari kejauhan anak-anak kosmik yang sudah dari siang tadi berada disini melangsungkan rapat kerja mulai turun dari salah satu bangunan rumah adat yang disewa sampai hari esok. Bola yang dibawa pun mulai ditendang ke sana kemari. Saya pun ikut menikmatinya. Tak lupa pula patung kepala kerbau di depan tongkonan toraja yang mungkin untuk sementara dia tidak akan kesepian karena sorak sorai anak kosmik yang bermain bola, setidaknya sampai sore ini dan esok.





Tidak ada komentar: