Iring-iringan kembali meneruskan perjalanan ketempat peristirahatan pak mansyur yang terakhir, yaitu kompleks pekuburan keluarga unhas di pa’tene maros. Perjalanan menuju kesana bisa dibilang sangat panjang, mulai dari jalanan beraspal sepanjang jalan perintis kemerdekaan dengan arah menuju maros, kemudian berbelok di jalan masuk tol mandai. Setelah itu memasuki jalan berliku yang belum diaspal. Ini mengingatkan saya kepada jalan hidup yang dilalui Pak mansyur.
Hidup pak mansyur semma mulanya seperti jalan aspal perintis kemerdekaan yang mulus, kadang-kadang saja ada sedikit lubang tapi itu tak terlalu berarti. Kesempatan yang diperolehnya hingga menjadi dosen dan sempat pula menjabat sekretaris jurusan ilmu komunikasi boleh dibilang mulus dan lancar. Hingga tahun 2001 penyakit ginjalnya memaksa untuk mengorbankan kedua matanya agar sakit ginjalnya sembuh. Konsekuensi yang didapat adalah kehilangan penglihatannya setelah menjadi korban malpraktik di rumah sakit wahidin. Tapi pak mansyur menganggap ini adalah cara Allah menyapanya. “Biarlah mata saya buta, asal Tuhan tidak membutakan mata hati saya.” Begitu kata pak manyur.
Kebutaan pak manyur ini seperti jalan memasuki kelurahan pa’tene yang berbatu dan berlubang. Kepahitan hidup tetap dijalaninya dengan penuh semangat yang tak kenal lelah. Saya bisa merasakan jalan berbatu-batu ini seolah memberitahu kita bahwa seberat dan sesulit apapun jalan itu, pasti ada celah yang merupakan “jalan lain” yang bisa ditempuh. “sholat kuncinya dan berbuat baik sesama manusia” terkenang kembali perkataan Pak Mansyur di salah satu kesempatan mengobrol dengannya.
Satu yang paling saya kagumi dari pak manyur, dia selalu bisa membuat orang didekatnya menjadi berarti di berbagai keadaan. Ketulusan hatinya untuk mendengar, membuat orang akan bercerita dengan senang dan jujur kepadanya.
Saya termasuk salah seorang yang suka berbohong, tapi dengannya sulit untuk berbuat demikian.
Kompleks pekuburan keluarga unhas perlahan kelihatan dari kejauhan. Bersamaan dengan itu iring-iringan kendaraan pengantar Pak mansyur satu-satu mulai memakirkan kendaraannya. Jenazah pak manyur diusung memasuki kompleks kuburan yang ada lambang ayam jantannya itu. Ternyata masih banyak tanah kosong. Saya berbisik ke ballo, “masih bisa kapling tanah disini buat nanti”.
(bersambung)