Jilbabnya berwarna merah muda, tetapi muda sekali sehingga mendekati ungu. Dia menyebut sebuah nama, sebenarnya nama itu sangat familiar bagiku. Tentu saja karena itu adalah namaku, hanya saja terdengar sangat merdu sehingga seperti selimut tak kasat mata membelai dan membungkus kehangatan di tengah dinginnya atmosfir malakaji yang tiba-tiba menyergap kami semua sebagai ucapan selamat datang.
Setengah gugup aku berucap “iya”, meneguhkan keragu-raguannya. Beberapa saat kemudian kami pun terlibat obrolan ringan. Kakinya yang putih kelihatan karena alas kakinya sedang digenggam. Ada sebuah karel ukuran sedang di pundaknya, dan tak henti-hentinya dia mencoba bernafas lebih cepat menyesuaikan keadaan sekitar melawan dingin yang menusuk.
Aku melangkah kearah baruga, sesudah berpamitan kepadanya, karena dia juga akan bergabung kembali dengan teman-temannya setelah ada instruksi dari steering bagi Maba untuk berbaris di belakang truk. Becek yang timbul karena hujan menghiasi sebagian besar tanah di areal lokasi nurani ini. Hujan pasti telah turun beberapa waktu sebelumnya. Kaki kami langsung kotor ketika memasuki halaman baruga itu. Terlihat beberapa senior kosmik seperti kak madi, kak jaya, kak ain (sang ibu sekretaris), kak taro, dan kak adri, beserta senior-senior lain sebagai rombongan pertama yang telah tiba sehari sebelumnya. Berdasarkan instruksi dari kak taro, agar semua barang dikumpul jadi satu di depan baruga. Kebetulan mobil pickup pengangkut logistik pun telah tiba. Beras, gallon, kompor, sayur-sayuran, kayu bakar, kompor gas, kompor minyak tanah, minyak goring, minyak tanah, dan lain lain juga diturunkan satu persatu. Instruksi lainnya dari kak taro agar maba berkumpul di lapangan untuk briefing dengan steering dan pendamping.
Awan Mendung semakin berarak memayungi langit malakaji. Tidak berapa lama Titik-tiik air hujan pun turun. Rupanya awan-awan itu tidak kuasa lagi membendungnya. Perlahan-lahan barang-barang di tengah halaman itu pun basah. Beberapa maba berusaha mengangkut dan memindahkannya ke tempat yang lebih teduh. Kiranya kantor PKK itulah tempat terdekat dari situ. Maka kesanalah barang-barang selanjutnya diungsikan. Dengan bahu membahu bersama senior-senior yang juga turun tangan membantu, akhirnya barang-barang kebutuhan dapur tersebut terbebas dari basah. Sebuah Tangki gas berukuran besar pun terlihat diantara barang-barang itu sehingga membutuhkan 2 orang untuk memindahkannya.
Dari arah lapangan, para maba pun kembali mulai berdatangan setelah briefing. Maba-maba itu mencari barang bawaannya masing-masing dan selanjutnya menempati kantor desa itu. Di lokasi nurani itu terdapat pula sebuah bangunan lain yang memiliki beberapa kamar dan ruang tamu serta sebuah kamar mandi di dalam salah satu kamar itu. Para senior-senior lain, dan anak TBM ditempatkan disini. sekaligus juga dijadikan tempat untuk bagian konsumsi memasak makanan bagi semua warga kosmik nanti.
Aku pun meletakkan tas di dalam tenda bulan yang berada di baruga itu. Sandal dan celana panjang aku lepaskan karena telah kotor ketika tiba tadi. Dengan celana pendek dan kaus saja di badan tentu saja membuat dingin yang menyerang semakin terasa. Hal selanjutnya adalah mencari kehangatan. Aku pun menuju dapur. Karena aku melihat beberapa ikat kayu bakar sewaktu barang-barang diturunkan tadi. Dan betul saja, ketika tiba didapur telah ada beberapa maba yang bersiap-siap akan memasak dengan kayu bakar.
Teriakan-teriakan dari arah lapangan terdengar diantara tiupan angin kencang menarik perhatian aku. Oh rupanya sebuah tenda raksasa sedang berusaha didirikan di tengah lapangan itu. Beceknya tanah, kencangnya angin serta dinginnya udara ditambah lagi deras air hujan mengguyur badan, tidak membuat anak-anak kosmik itu gentar untuk mendirikan tenda itu. Nurani kali ini aku kira berkonsep perkemahan. Karena disekeliling tenda raksasa yang berfungsi sebagai tenda induk itu telah siap pula tenda-tenda kecil yang akan didirikan. Udara sangat dingin membuat mulut dan gigi tidak berhenti bergemeretak. Tetapi teriakan teriakan itu semakin keras menambah semangat. Tiga tiang utama di tengah tenda raksasa berwarna hijau khas tentara bertuliskan “depertemen sosial” itu sedang berusaha di pancangkan. “tarik…! Tarik…!, “disebelah kanan tahan..!” .“stoooopp….!!!” Teriakan-teriakan seperti Itulah yang terdengar mengalahkan terjangan angin dan dingin yang menusuk-nusuk. Kak opi, kak coke, kak potter, kak andi, kaki man, kak ruztan, jo (maba 2008), serta anak-anak kosmik lain mengerahkan segenap tenaganya hingga tenda itu berdiri dengan tegak. Angin masih memukul-mukul badan tenda besar itu, tapi dia tidak goyah lagi. Tali-tali pancang pun dipasang dengan patok-patok besinya menahan geraknya agar lebih kukuh berdiri. Beberapa kali tali itu sempat putus dan patoknya tercbut, tetapi dengan kesabaran dan ketekunan selama satu jam lebih akhirnya tenda itu pun menyerah. Dia berdiri dengan gagah, hijau gelap, sendirian di tengah lapangan luas. Sementara bukit dan pegunungan rumah penduduk terhampar luas di belakangnya, hujan pun turun lagi dan angin berhembus perlahan.
Ketika kembali ke dapur, maba yang bertugas sebagai seksi konsumsi telah memulai aktivitasnya memasak. Ada yang mengiris bawang, menumbuk lombok dan mencuci beberapa peralatan. Karena di dalam dapur sangat penuh, maka sebagian kegiatan masak-memasak dialihkan ke luar area dapur yang masih ada seng pelindungnya. Sebuah dandang besar berisi air telah dinaikan ke atas tiga batu besar, sementara beberapa potong kayu bakar telah menyala membara di bawahnya. Kehangatan pun pelan-pelan berpindah dan terasa ketika aku mendekat, meskipun basah karena basah oleh hujan di lapangan bersama anak-anak tadi. Tuhan menciptakan sesuatu itu selalu berpasangan, dinginnya cuaca seperti ini akan terasa nikmat jika ada panas yang mengimbanginya. Sisi positif dari sebuah proses bernama radiasi dapat dirasakan pada saat itu. Energi panas api yang berpindah menghangatkan badan di kala dingin dapat mendatangkan berbagai hal indah. Seperti kejadian selanjutnya, disamping aku telah berdiri sesosok maba perempuan mengenakan sweater hitam dan bercelana biru tua dengan tiga garis putih dan tanpa sandal. Rambutnya agak pirang, diikat dengan kearah atas. Tanpa ekspresi dia memandang kearah api yang menjilat-jilat menebarkan panas. Sesekali dia berjongkok kemudian berdiri lagi tapi tidak beranjak dari situ. “dikasih naik mi nasinya ?” tanyanya pada seorang maba lain yang berjilab hitam. (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar