“Adiknya amal meninggal !” ranes setengah berteriak di telingaku ketika pagi-pagi ini aku baru bangun. “tadi malam meninggalnya. Lambat dibawa ke rumah sakit”, ranes melanjutkan dengan mata sedikit berkaca-kaca. Tapi ku tahu dia tetap tegar.
Ka asma, kakak ranes, kalau dihitung-hitung telah melahirkan sebanyak 3 kali. Yang pertama bernama Raihan Habibie. Dia meninggal sekitar tahun 2005 silam. Waktu itu penyebabnya sakit. Anak kedua, Amal Saleh. Yang ini sehat-sehat sampai sekarang. Beberapa bulan lalu ka asma melahirkan anak yang ketiga. Kali ini perempuan, namanya saya lupa. Anaknya ini sejak lahir mempunyai ukuran badan sangat kecil. Sehingga waktu lahir dia masih harus menempati incubator. Sedih rasanya bila melihat si kecil yang terakhir ini. Saya memang tidak pernah melihatnya. Membayangkannya saja sudah mengiris hati. Dan kini tadi pagi kabar yang diterima ranes sangat menyentakkan hatiku.
Saya memang bukan siapa-siapa di keluarga mereka, tetapi kedekatan yang terbangun membuat ikatan emosional kami terbentuk dengan sangat erat.
Siang hari, ketika matahari mulai meninggi saya mencari ranes di kamarnya. Tetapi dia tidak ada, mungkin sudah pergi kerja. Kebulatan tekadnya membuatku sedih, karena di usia yang sebenarnya masih berhak merasakan nkmatnya belajar di bangku kuliah tidak sempat dikecapnya. Biaya pendidikan yang melambung tinggi mengandaskan segala impiannya untuk kuliah di fakultas hukum. Di tahun ini, dia bersikeras untuk kerja dan tidak bergantung pada orang tua. Dan jadilah kini dia sebagai karyawan di toko harapan baru. Katanya gaji cukup untuk kebutuhan sehari-hari. “lumayan bisa untuk hidup di pondokan, dan kalau ada lebihnya bisa buat kirim ke kampung” katanya suatu hari kepadaku.
Ah...Ranes.......
Ka asma, kakak ranes, kalau dihitung-hitung telah melahirkan sebanyak 3 kali. Yang pertama bernama Raihan Habibie. Dia meninggal sekitar tahun 2005 silam. Waktu itu penyebabnya sakit. Anak kedua, Amal Saleh. Yang ini sehat-sehat sampai sekarang. Beberapa bulan lalu ka asma melahirkan anak yang ketiga. Kali ini perempuan, namanya saya lupa. Anaknya ini sejak lahir mempunyai ukuran badan sangat kecil. Sehingga waktu lahir dia masih harus menempati incubator. Sedih rasanya bila melihat si kecil yang terakhir ini. Saya memang tidak pernah melihatnya. Membayangkannya saja sudah mengiris hati. Dan kini tadi pagi kabar yang diterima ranes sangat menyentakkan hatiku.
Saya memang bukan siapa-siapa di keluarga mereka, tetapi kedekatan yang terbangun membuat ikatan emosional kami terbentuk dengan sangat erat.
Siang hari, ketika matahari mulai meninggi saya mencari ranes di kamarnya. Tetapi dia tidak ada, mungkin sudah pergi kerja. Kebulatan tekadnya membuatku sedih, karena di usia yang sebenarnya masih berhak merasakan nkmatnya belajar di bangku kuliah tidak sempat dikecapnya. Biaya pendidikan yang melambung tinggi mengandaskan segala impiannya untuk kuliah di fakultas hukum. Di tahun ini, dia bersikeras untuk kerja dan tidak bergantung pada orang tua. Dan jadilah kini dia sebagai karyawan di toko harapan baru. Katanya gaji cukup untuk kebutuhan sehari-hari. “lumayan bisa untuk hidup di pondokan, dan kalau ada lebihnya bisa buat kirim ke kampung” katanya suatu hari kepadaku.
Ah...Ranes.......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar