Sepanjang malam itu kau terus menghubungiku, menanyakan sudah sampai manakah bis ini membawaku ? padahal langkah bis ini baru saja mencapai kota pare-pare, hingga tak terasa aku tertidur pulas. Aku sengaja menghiraukan daerah daerah yang dilewati menuju tempatmu itu karena sudah sering kulalui beberapa waktu terakhir.
Hingga subuh menjelang, ketika lipan merah, eh salah… Liman merah yang kunaiki pelan-pelan merayap memasuki jantung sebuah kota. Aku langsung ingat salah seorang temanku pernah berkisah tentang kota ini. Tidak banyak cerita darinya. Hanya tentang sebuah pantai di pinggiran kota. Disana tidak akan kita jumpai suasana tenggelamnya matahari seperti lazimnya pantai pantai lain. Tetapi yang akan kita dapati adalah pemandangan menakjubkan bagaimana sebuah matahari baru akan lahir. Aku bisa membayangkan bagaimana bola gas raksasa berwarna kuning itu muncul begitu saja dari dalam samudra luas di lautan sana, aku jadi teringat salah satu scene di film pirates of carribean, dimana kapten jack sparrow terperangkap dikapal flying Dutchman bersama awaknya hingga mereka bersepakat untuk menggoyangkan kapal dengan tujuan agar kapal itu terbalik, sampai pada adegan dimana matahari itu muncul dari dalam lautan. Seperti itulah kira-kira jika membayangkannya. Tapi sayang, jalur bis tidak membawaku kesana, jadi aku hanya bisa puas menyaksikan mentari itu bangun dari sela sela perbukitan yang mengelelilingi kota itu. Meskipun begitu harus kuakui sinarnya menyambut pagi tetap memukau. Memasuki daerah dengan banyak gereja dan mesjid yang berdampingan bertuliskan kecamatan angkona disana sini nya, kau menghubungiku lagi, katamu tak lama lagi aku akan sampai.
Akhirnya untuk pertama kali, setelah 10 tahun yang lalu ketika tangismu melepasku di pelabuhan dili itu, kita bertatapan lagi. Dengan matamu kau menangkap lambaian tanganku dari atas bis. Kau memelukku, ditengah pandangan heran beberapa tukang ojek yang ada disitu. Tak kau pedulikan arus mobil yang masih hilir mudik dan klakson keras tanda selamat tinggal dari liman merah yang mengangkutku.
Kau mengajakku ke rumahmu, katamu selamat datang di puncak indah. Dari tempatku berdiri, aku dapat memandang ke delapan penjuru mata angin sejauh sekitar radius 2 km, dan tak ada kata yang dapat melukiskannya selain… Indah…Aku langsung tahu kenapa daerah ini dinamakan puncak indah.
Aku tertawa saja ketika kau menyuruhku naik motor yang kau bawa, soalnya motor besar ini lebih cocok dikemudikan lelaki. Tetapi kau tetap memaksa untuk mengemudikannya walaupun aku sudah menawarkan untuk memboncengmu. Tak berhelm kau biarkan angin mempermainkan rambut ikalmu yang indah itu.
Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat, tapi sepanjang waktu itu kau menghabiskan waktu melupakanku dengan menghadiahi suamimu 4 orang anak. Yang ada kini hanya kerinduan biasa, kerinduan yang memaksaku melupakan bayang bayang masa lalu. Disaat kini kau membawaku mengitari kantor bupati luwu timur dan kantor kantor pemerintahan yang berdekatan terletak diatas bukit itu sekitar 4 hektar luasnya, serta berjarak 4 km dari jalan raya.
Dulu aku pernah merindukanmu, mungkin sampai kini... tapi sudahlah...
Hingga subuh menjelang, ketika lipan merah, eh salah… Liman merah yang kunaiki pelan-pelan merayap memasuki jantung sebuah kota. Aku langsung ingat salah seorang temanku pernah berkisah tentang kota ini. Tidak banyak cerita darinya. Hanya tentang sebuah pantai di pinggiran kota. Disana tidak akan kita jumpai suasana tenggelamnya matahari seperti lazimnya pantai pantai lain. Tetapi yang akan kita dapati adalah pemandangan menakjubkan bagaimana sebuah matahari baru akan lahir. Aku bisa membayangkan bagaimana bola gas raksasa berwarna kuning itu muncul begitu saja dari dalam samudra luas di lautan sana, aku jadi teringat salah satu scene di film pirates of carribean, dimana kapten jack sparrow terperangkap dikapal flying Dutchman bersama awaknya hingga mereka bersepakat untuk menggoyangkan kapal dengan tujuan agar kapal itu terbalik, sampai pada adegan dimana matahari itu muncul dari dalam lautan. Seperti itulah kira-kira jika membayangkannya. Tapi sayang, jalur bis tidak membawaku kesana, jadi aku hanya bisa puas menyaksikan mentari itu bangun dari sela sela perbukitan yang mengelelilingi kota itu. Meskipun begitu harus kuakui sinarnya menyambut pagi tetap memukau. Memasuki daerah dengan banyak gereja dan mesjid yang berdampingan bertuliskan kecamatan angkona disana sini nya, kau menghubungiku lagi, katamu tak lama lagi aku akan sampai.
Akhirnya untuk pertama kali, setelah 10 tahun yang lalu ketika tangismu melepasku di pelabuhan dili itu, kita bertatapan lagi. Dengan matamu kau menangkap lambaian tanganku dari atas bis. Kau memelukku, ditengah pandangan heran beberapa tukang ojek yang ada disitu. Tak kau pedulikan arus mobil yang masih hilir mudik dan klakson keras tanda selamat tinggal dari liman merah yang mengangkutku.
Kau mengajakku ke rumahmu, katamu selamat datang di puncak indah. Dari tempatku berdiri, aku dapat memandang ke delapan penjuru mata angin sejauh sekitar radius 2 km, dan tak ada kata yang dapat melukiskannya selain… Indah…Aku langsung tahu kenapa daerah ini dinamakan puncak indah.
Aku tertawa saja ketika kau menyuruhku naik motor yang kau bawa, soalnya motor besar ini lebih cocok dikemudikan lelaki. Tetapi kau tetap memaksa untuk mengemudikannya walaupun aku sudah menawarkan untuk memboncengmu. Tak berhelm kau biarkan angin mempermainkan rambut ikalmu yang indah itu.
Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat, tapi sepanjang waktu itu kau menghabiskan waktu melupakanku dengan menghadiahi suamimu 4 orang anak. Yang ada kini hanya kerinduan biasa, kerinduan yang memaksaku melupakan bayang bayang masa lalu. Disaat kini kau membawaku mengitari kantor bupati luwu timur dan kantor kantor pemerintahan yang berdekatan terletak diatas bukit itu sekitar 4 hektar luasnya, serta berjarak 4 km dari jalan raya.
Dulu aku pernah merindukanmu, mungkin sampai kini... tapi sudahlah...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar