Hari ini adalah hari terakhir aku berada di kota ini. Setelah dua hari yang lalu kami tiba disini mengantarkan adik arya yang sedang sakit. Bersama yuda, arya, bahar dan ono (adik arya) dengan AVP hitam yang dikendarai arya selepas sahur hari sabtu kemarin. Aku ingat di kota ini pernah menjadi tempat singgahmu beberapa tahun lalu. Tepatnya menjadi tempat tinggal sesaat karena tuntutan pekerjaan yang kau lakoni waktu itu hingga kau terangkat menjadi PNS di ibukota.
Yah.. itu sebelum kabar yang kau ceritakan padaku mengenai statusmu tempo hari di ujung telepon. Ketika itu suasana seperti sekarang, dalam dinginnya angin yang membangunkanku untuk sahur justru memberiku kekuatan menyeret kakiku dari pintu pondokan melintasi lapangan satu unhas, menembusi lapangan basket PKM selanjutya menuju rektorat di depan mesin ATM. Pandangan heran satpam juga kuacuhkan hanya untuk memencet nomor nomor telepon rumahmu lewat pesawat telpon yang menggunakan koin di rektorat itu. Katamu aku terlambat beberapa jam saja. Karena siang sebelumnya ada seseorang meminangmu terlebih dahulu. Padahal dari penuturan dengan isak tangismu kau terus terang mengharapkanku. Kau hanya tak enak hati saja harus memutuskannya kembali. Apakah perempuan memang begitu ? lebih menyayangi perasaan orang lain daripada perasaannya sendiri ? aku juga tak tahu.
Hingga Mobil AVP yang dikemudikan arya meninggalkan kota ini pelan-pelan, aku belum bisa memejamkan mataku, terutama ketika dua pulau besar yang terhampar di seberang pantai sepanjang jalan kota ini terlihat meskipun samar-samar. Dari cerita ono, dua pulau tersebut adalah jelmaan seekor buaya dan seekor ular raksasa yang memperebutkan lautan di wilayah ini. Tuhan menghukum keduanya menjadi dua pulau yang tampak berhadap-hadapan itu.
Aku menceritakan ini untukmu kawan,
bukan karena aku sakit hati karenanya
bukan pula agar kau bertarung untuknya
tapi sebenarnya apa salahnya berkorban untuknya ?
Tuhan tidak akan mengutukmu menjadi pulau hanya karena berjuang untuknya
maafkan aku yang sering memaksamu mengikuti kata hatimu
agar kau tidak sepertiku
yang hanya bisa memandang jelmaan buaya dan ular itu
tanpa pernah berjuang seperti mereka
Yah.. itu sebelum kabar yang kau ceritakan padaku mengenai statusmu tempo hari di ujung telepon. Ketika itu suasana seperti sekarang, dalam dinginnya angin yang membangunkanku untuk sahur justru memberiku kekuatan menyeret kakiku dari pintu pondokan melintasi lapangan satu unhas, menembusi lapangan basket PKM selanjutya menuju rektorat di depan mesin ATM. Pandangan heran satpam juga kuacuhkan hanya untuk memencet nomor nomor telepon rumahmu lewat pesawat telpon yang menggunakan koin di rektorat itu. Katamu aku terlambat beberapa jam saja. Karena siang sebelumnya ada seseorang meminangmu terlebih dahulu. Padahal dari penuturan dengan isak tangismu kau terus terang mengharapkanku. Kau hanya tak enak hati saja harus memutuskannya kembali. Apakah perempuan memang begitu ? lebih menyayangi perasaan orang lain daripada perasaannya sendiri ? aku juga tak tahu.
Hingga Mobil AVP yang dikemudikan arya meninggalkan kota ini pelan-pelan, aku belum bisa memejamkan mataku, terutama ketika dua pulau besar yang terhampar di seberang pantai sepanjang jalan kota ini terlihat meskipun samar-samar. Dari cerita ono, dua pulau tersebut adalah jelmaan seekor buaya dan seekor ular raksasa yang memperebutkan lautan di wilayah ini. Tuhan menghukum keduanya menjadi dua pulau yang tampak berhadap-hadapan itu.
Aku menceritakan ini untukmu kawan,
bukan karena aku sakit hati karenanya
bukan pula agar kau bertarung untuknya
tapi sebenarnya apa salahnya berkorban untuknya ?
Tuhan tidak akan mengutukmu menjadi pulau hanya karena berjuang untuknya
maafkan aku yang sering memaksamu mengikuti kata hatimu
agar kau tidak sepertiku
yang hanya bisa memandang jelmaan buaya dan ular itu
tanpa pernah berjuang seperti mereka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar