Sabtu, 06 Agustus 2011

Atinggola, dari sarang rangkong hingga sarang jin

Di suatu pagi buta beberapa waktu lalu, tepatnya selasa di hari ke 19 bulan juli lalu, saya dan segenap para pengabdi di daerah kabupaten gorontalo utara bertolak menuju sebuah lapangan di kecamatan paling ujung utara yang berbatasan dengan provinsi sulawesi utara. Sebelum pukul 8 pagi kami telah tiba disana untuk melakukan upacara bendera yang kali ini dirangkaikan dengan HUT koperasi RI ke 64.

Jalanan menuju tempat upacara itu berkelok-kelok dengan pemandangan laut yang cantik di salah satu sisinya. Dengan jarak 57 km dari tempat kos saya di kecamatan kwandang, maka diperlukan kurang lebih satu jam untuk sampai disana dengan kecepatan normal untuk sepeda motor (kebetulan saya bersama teman saya bernama erik naik motor).

Atinggola, demikian nama kecamatan tujuan kami pagi itu. Jika dari arah kwandang, kita akan melewati kecamatan gentuma raya yang merupakan pemekaran dari kecamatan atinggola itu sendiri yang sama-sama termasuk dalam wilayah kabupaten termuda di gorontalo.

Ini adalah pertama kali saya ke atinggola. Maka sehabis upacara, saya dan erik menjelajahi beberapa daerah di sekitar lapangan itu. Jika kau mengikuti jalan trans sulawesi menuju utara, maka tidak jauh dari lapangan utama tadi akan kau dapati tugu perbatasan antara provinsi gorontalo dengan provinsi induknya dahulu yakni sulawesi utara. Hawa sejuk khas pegunungan jauh dari polusi tetap terasa, apalagi ketika kami menuju ke arah timur melewati beberapa desa seperti Desa Pinontoyonga, Bintana hingga sampai pada ujung aspal Desa Sigaso (desa yang merupakan pemekaran dari desa bintana).

Di sigaso kami singgah di sebuah rumah yang merupakan tempat tinggal erik beberapa tahun lalu sewaktu Ia dan Bapaknya mengerjakan proyek irigasi di daerah itu. Di depan rumah tersebut mengalir sungai dengan airnya yang jernih dan tenang. Diatasnya ada jembatan yang menghubungkan dari jalan raya menuju rumah ini. Jika kau menyentuhkan kakimu dengan air sambil duduk diatas jembatan ini, dan membiarkan sesekali kakimu terbawa arus pelan sungai tersebut, hm....apalagi yang kurang ? Sangat tenang rasanya, tidak ada suara bising kendaraan lewat, hanya suara air dan sesekali kicauan burung di dahan-dahan pohon.



Sehabis puas menikmati tenangnya air di depan rumah tersebut, kami menuju sungai yang biasa menjadi tempat ritual mandi safar (sebuah ritual dalam masyarakat atinggola pada bulan safar di penanggalan hijriah tiap tahunnya untuk menghanyutkan bala dan sial di sungai dengan mandi secara bersama-sama) tidak jauh dari tempat itu. Sepanjang perjalanan menuju sungai ini terdapat banyak sekali pohon-pohon durian yang menjulang tinggi. Ketika memperhatikan keatas, tiba-tiba erik menunjuk ke salah satu pohon durian. Disana ada seekor burung besar berparuh kuning yang sedang asyik nongkrong di salah satu dahannya. Waaaa...!!! itulah burung rangkong. Salah satu burung favorit saya. Sebelumnya Saya sering melihat kepala burung rangkong dipajang di rumah-rumah penduduk sebagai hiasan, tapi kini akhirnya bisa melihatnya langsung dalam keadaan hidup di alam liar. Burung rangkong sangat mudah dikenali dari paruh kuningnya dan bentuknya yang unik serta suara kerasnya. Oh iya, rangkong juga tergolong burung yang setia pada pasangannya.


Ilustrasi burung rangkong (sumber gambar :http://beingindonesian.tumblr.com/post/1291646014/burung-rangkong-sulawesi-indonesia)


Matahari semakin meninggi, kami memutuskan untuk kembali ke kwandang. Karena Ibu kota kecamatan atinggola memiliki banyak perempatan, sehingga saya agak bingung ketika akan pulang. Namun Erik rupanya telah hapal jalan disitu, dengan memacu motornya melewati beberapa belokan, kami telah berada lagi di jalan trans sulawesi menuju kwandang. Ketika mencapai sebuah tikungan disebuah desa bernama kotajin, nampaklah sebuah bangunan seperti bongkahan batu raksasa dengan sebuah pohon beringin tumbuh diatasnya yang terletak begitu saja di tengah-tengah sawah. Kata erik, batu itu disebut dalam bahasa gorontalo "ota lo jin " (kotanya jin). Mungkin dari situlah nama Desa Kotajin tersebut diambil. Konon kabarnya, barang siapa yang memasuki bongkahan batu itu, tidak akan bisa keluar lagi. Tapi meskipun begitu, penduduk sekitar tetap menanam padi di sekitar batu itu dengan tenang.


(ota lo jin, batu di tengah sawah yang saya tunjuk)


Segala tempat memang menyimpan kisah masing-masing, kesemuanya tidak terlepas dari peran manusia yang menyampaikannya dengan interpretasi dan dasar pengetahuan yang berbeda.

1 komentar:

pai mengatakan...

terus terang pertama kali liat foto rahe berseragam batik sy langsung ketawa... ;D hehehe....
lalu tersenyum....
lalu bahagia.... ;p