Jumat, 27 Februari 2009

Suatu sore bersama Fadel Muhammad

Pamflet di dinding depan perpustakaan pusat itu yang memberitahuku bahwa sore hari ini akan datang seorang gubernur untuk memberikan kuliah umum. Sebenarnya kedatangan seorang pejabat negara atau orang penting lainnya sudah biasa di kampus ini. Hanya saja kali ini berbeda. Karena yang datang sekarang adalah seorang pemimpin dari daerah asalku, gorontalo.

Ketika baru saja aku tiba di lantai bawah gedung ipteks, aku mendapati 2 kelompok mahasiswa yang sedang duduk membentuk 2 lingkaran berbeda. Masing-masing ditemani oleh seorang dosen. Aku mengenali salah seorang dosen itu sebagai supervisor ku (pak rahmat Muhammad) waktu KKN di tahun 2006 silam. Aku dapat menyimpulkan kiranya pembicaraan dua kelompok lingkaran itu adalah mengenai rencana pemberangkatan KKN nanti. Entah ini KKN gelombang keberapa, aku hanya memandang mereka sambil menunggu kedatangan Pak Fadel.

Sekitar lima belas menit menunggu akhirnya rombongan pak fadel tiba. Setelah sebelumnya aku ditemani oleh salah seorang senior angkatan 96 serta ain (sekum kosmik saat ini) yang sudah pergi lagi. Ain juga sempat mengabarkan bahwa Ibundanya Irwan (ketua korps saat ini) saat ini sedang sakit dan dirawat di ruangan "anggrek" rumah sakit Jaury.



Sabtu, 21 Februari 2009

lenggak lenggok makassar

lenggak lenggok makassar...
geliatnya sudah mirip ibukota, malam minggu semakin rame, ABG dengan tanktop dan hotpants di depan warnet hilir mudik
sementara di jalan raya depan pintu satu, motor-motor dipacu dengan kecepatan diatas normal, biasanya terdiri dari 3 atau 4 motor saling mendahului demi satu nama gengsi
tidak berapa lama polisi berdatangan, dan arena itu pun bubar.
seiring hujan yang ikut turun, penonton juga ikut pulang

itu dari sudut sini
entah dari sudut yang lain
dan aku pun tenggelam kembali
di dunia maya ini








Jumat, 13 Februari 2009

Merindukanmu....(ranes)

Hari ini kau tiba-tiba hadir di depan pintu xtranet, memanggilku
Aku terhenti sejenak, tidak dapat merasakan apa-apa
kemudian tersadar kembali
Setelah beberaba bulan lamanya tidak bersua
Bukan karena apa
Aku hanya mencoba tuk mengerti...
Mengerti, dan menghormati pilihanmu
Untuk pergi dari kebersamaan kita
Pergi bersamanya

Tapi meskipun begitu
aku begitu merindukanmu
masih... dan selalu...






Senin, 09 Februari 2009

Nurani 200, Dari malakaji turun ke hati (III)

Anggukan maba berjilbab hitam itu pun menjadi legitimasi bagi si gadis pirang untuk mengambil langkah selanjutnya. Belakangan baru aku ketahui ternyata maba berjilbab hitam itu adalah koordinator seksi konsumsi. Karena namanya baru kuketahui nanti, untuk sementara kami memanggilnya ibu mandor.

Pandangan gadis pirang itu lalu berpindah kepada beras yang sejak tadi sudah dituang kedalam wajan besar untuk dimasak dengan air. Seolah sudah mengetahui maksud si gadis pirang, jo salah seorang maba cowok yang juga berdiri tak jauh dari situ langsung mengambil posisi akan mengangkat wajan besar berisi beras tadi. Si gadis pirang pun tidak membiarkan jo mengangkatnya sendirian, perlahan disingsingkan lengan bajunya kemudian dengan aba-aba tak terdengar wajan itu pun terangkat ke atas tungku api.

Jadilah kami bertiga menunggui beras tersebut hingga mendidih dan habis airnya. Cara memasak nasi seperti ini sudah lazim dilakukan untuk mempercepat proses penanakan nasi nantinya. Terkadang si gadis pirang membolak-balik beras tersebut agar tidak lengket menggunakan sodet yang biasa dipakai untuk menggoreng. Sembari gadis pirang itu “beraksi” dengan sodetnya, aku dan jo bergantian memasukkan kayu baru dan mengatur agar nyala api tetap pada kondisi yang normal, tidak mati atau tidak terlalu besar. Asap dari api selalu mengepung kami, dan arahnya tidak menentu. Karena kami dekat sekali dengan api maka mau tidak mau muka kami menjadi sasaran utamanya. Beberapa kali si gading pirang menutup penuh mukanya ketika asap menyerbu dengan sweater hitamnya, saat itulah kami akan tertawa terpingkal-pingkal. Karena meskipun sudah bau asap si gadis pirang tetap enggan untuk beranjak dari situ, selain udara dingin terus menusuk, kehangatan dekat api merupakan hal yang paling nikmat di tengah cuaca seperti itu.

Melihat kami asyik bercanda di dekat api dan tidak merasakan dinginnya cuaca sekitar, membuat beberapa warga kosmik lainnya mendekat. Mulanya si ruztan, yang baru pulang dari membantu mendirikan tenda-tenda kecil langsung bergabung mendekati api. Dinginnya malakaji membuat kaki dan tangannya tidak terasa panas sewaktu di dekatkan pada pusat api meskipun dalam jarak hanya sekian millimeter. Kemudian cokke pun ikut nimbrung, lalu disusul isal, debra, dan arshanty. 3 nama yang aku sebutkan terakhir itu adalah anak “trust 06” termasuk ruztan. Sementara cokke’ sendiri dari “guard 05”.

Tidak terasa air dalam wajan besar sudah kering seiring dengan itu beras pun menjadi setengah matang. Tinggal dikukus dalam dandang. Jo pun mengambil dandang dari dalam dapur, si gadis pirang bersiap memindahkan beras dari wajan besar yang telah diangkat oleh ruztan ke tanah. Beberapa anak kosmik lainnya sempat singgah sebentar kemudian berlalu lagi masuk ke dalam dapur. Debra dan arshanty pun ikut masuk ke dalam. Tinggal isal bersama si gadis pirang, aku, jo dan ruztan. Cokke juga telah pergi entah kemana. Dari arah pintu, si ibu mandor mengawasi pekerjaan kami. Si gadis pirang memindahkan beras ke dalam dandang yang telah siap selanjutnya jo bersamaku mengangkatnya ke atas tungku kembali. Sekarang tinggal menunggu masaknya nasi, karena lauk pauk sudah disiapkan sejak berangkat tadi hanya tinggal dipanaskan saja. Ibu mandor tersenyum-senyum sendiri di ambang pintu dapur, aku pun menanyakan namanya. “Mifda, kak!” jawabnya singkat. Ketika aku menoleh ke samping, telah ada 2 orang maba cewek lagi sudah berjongkok dengan manis. Si gadis pirang pun memperkanalkan satu persatu 2 pendatang baru itu.”yang itu feny kak, terus yang berkacamata disebelahnya, lirih. Aku mengulanginya lagi sambil menujuk mereka, “feny” kepada yang berambut pendek dan “lirih” kepada rambut panjang berkacamata. Dari cara bicaranya, lirih dapat langsung kutebak. Ia pasti orang toraja, sementara feny belum kuketahui pasti.

Ketika menoleh lagi kearah gadis pirang, aku melihat satu sosok lagi sedang berkacak pinggang dibelakangnya. Aku sangat mngenal anak kosmik satu ini. Bicaranya sangat cepat tetapi herannya, tidak pernah satu katapun yang salah atau belepotan dalam setiap ucapannya. Dia mampu meniru beberapa logat khas daerah yang berbeda seperti toraja, kendari, Kalimantan bahkan papua. Malah aku bingung sebenarnya dia berasal dari daerah mana. Kulit putihnya sangat terlihat kontras dengan baju hitamnya. Suaranya keras dan lantang, rambut panjangya dibiarkan tergerai dengan mata bulat dan besar yang selalu bergerak-gerak mengamati pekerjaan si gadis pirang. Namanya mirip nama anak lelaki, tingkahnya pun kadang tomboy, tetapi sebenarnya ia sangat feminim, periang dan baik hati. Ari, singkat saja teman-temannya memanggil dia demikian.

Kedatangan ari menambah semarak acara masak nasi kami dengan celoteh-celotehnya, kadang-kadang ari meminta jo mengecek air di tungku sebelahnya apakah sudah mendidih atau belum. Ari pun beberapa kali menanyakan kepada jo apakah dia tidak merasakan udara dingin ini karena jo tidak mengenakan jaket ditambah lagi celana panjangnya digulung hingga batas paha. Jawaban jo sederhana, “ranselku tidak tahu kemana, sementara semua baju disitu. Lagian juga daerah asalku, lebih dingin dari sini. Belum apa-apa dinginnya disini dibanding di toraja” katanya. Aku geli melihat tingkah mereka satu persatu terutama kala teman-teman jo yang lain mengejeknya tetapi jo hanya senyum-senyum saja.

Si gadis pirang sejak tadi berdiri dengan tangan tidak lepas dari sodetan terlihat melamun memandangi asap entah apa di dalam pikirannya, atau memang begitukah dia orangnya ? Tiba-tiba si mifda mandor dapur, meminta tolong agar nasi itu dicek apakah sudah matang atau belum. Gadis pirang pun mengangkat tutup dandang tersebut, asap mengepul dengan hebatnya, anak-anak yang duduk sekitar api mencoba mengambil hangat asap itu, hm….. terasa nikmat hawa seperti ini. “sedikit lagi” kata gadis pirang setelah mencoba nasi tersebut. Jo kembali memasukkan kayu bakar. Ruztan mengaturnya, nyala api itu tetap terjaga, sesekali meniupnya bila mati lagi.

Sejak tadi aku baru sadar ternyata ada isal disamping aku duduk memandangi nyala api itu. Tangannya pun tidak lepas dari posisi seperti orang mengeluarkan tenaga dalam. Menyerap hangat sebanyak-banyaknya. Spontan saja aku menanyakan apakah ia punya pulsa. Isal mengangguk dengan senyum di wajah khasnya. Kalau dalam posisi senyum seperti itu maka mata isal akan mengecil hingga nyaris tak terlihat. Santy (rush 04) lah orang pertama yang menyadari akan hal ini. Katanya senyum isal mirip senyuman almarhum mantan presiden soeharto yang lebih terkenal dengan istilah “smiling general”. Coba saja kalian perhatikan dengan seksama.

Isal berasal dari bau-bau sulawesi tenggara. Logat tenggaranya masih terasa walaupun telah 2 tahun dia di makassar. Tubuhnya menjulang diantara teman-temannya, sehingga kata arshanty sangat mudah menemukan isal diantara orang-orang. Dengan jilbab putih dan baju lengan panjang biru langit isal berjongkok di depan api. Ia juga mengenakan selimut berwarna hijau terang, katanya itu sarung khas buton. Kainnya ditenun dengan benang pilihan. Aku melihat kerapatan kain tersebut dari jarak dekat. Tentulah butuh ketekunan dan ketelitian yang tinggi untuk membuat kain seperti itu. Walaupun tidak terlalu tebal, tetapi hangat bila dilingkarkan pada tubuh kita. Isal kembali tersenyum dan memandangi api lagi.

Pikiranku melayang ke makassar, aku ingin meng-sms teman aku untuk segera datang kesini. Jadi aku meminjam hp milik isal. Dengan agak kaku aku menekan tombol hp itu. Isal sempat berpesan, “kalau mau datang bawa jaket 2, disini sangat dingin. Jangan lupa tulis nama ta’ ya sebagai pengirim”. Aku pun tambah bersemangat memencet tombol untuk merangkai kalimat-kalimat itu. Sms pun terkirim, seiring itu harapan-harapan mulai aku panjatkan.
(bersambung)


Nurani 2008, Dari malakaji turun ke hati (II)

Jilbabnya berwarna merah muda, tetapi muda sekali sehingga mendekati ungu. Dia menyebut sebuah nama, sebenarnya nama itu sangat familiar bagiku. Tentu saja karena itu adalah namaku, hanya saja terdengar sangat merdu sehingga seperti selimut tak kasat mata membelai dan membungkus kehangatan di tengah dinginnya atmosfir malakaji yang tiba-tiba menyergap kami semua sebagai ucapan selamat datang.

Setengah gugup aku berucap “iya”, meneguhkan keragu-raguannya. Beberapa saat kemudian kami pun terlibat obrolan ringan. Kakinya yang putih kelihatan karena alas kakinya sedang digenggam. Ada sebuah karel ukuran sedang di pundaknya, dan tak henti-hentinya dia mencoba bernafas lebih cepat menyesuaikan keadaan sekitar melawan dingin yang menusuk.

Aku melangkah kearah baruga, sesudah berpamitan kepadanya, karena dia juga akan bergabung kembali dengan teman-temannya setelah ada instruksi dari steering bagi Maba untuk berbaris di belakang truk. Becek yang timbul karena hujan menghiasi sebagian besar tanah di areal lokasi nurani ini. Hujan pasti telah turun beberapa waktu sebelumnya. Kaki kami langsung kotor ketika memasuki halaman baruga itu. Terlihat beberapa senior kosmik seperti kak madi, kak jaya, kak ain (sang ibu sekretaris), kak taro, dan kak adri, beserta senior-senior lain sebagai rombongan pertama yang telah tiba sehari sebelumnya. Berdasarkan instruksi dari kak taro, agar semua barang dikumpul jadi satu di depan baruga. Kebetulan mobil pickup pengangkut logistik pun telah tiba. Beras, gallon, kompor, sayur-sayuran, kayu bakar, kompor gas, kompor minyak tanah, minyak goring, minyak tanah, dan lain lain juga diturunkan satu persatu. Instruksi lainnya dari kak taro agar maba berkumpul di lapangan untuk briefing dengan steering dan pendamping.

Awan Mendung semakin berarak memayungi langit malakaji. Tidak berapa lama Titik-tiik air hujan pun turun. Rupanya awan-awan itu tidak kuasa lagi membendungnya. Perlahan-lahan barang-barang di tengah halaman itu pun basah. Beberapa maba berusaha mengangkut dan memindahkannya ke tempat yang lebih teduh. Kiranya kantor PKK itulah tempat terdekat dari situ. Maka kesanalah barang-barang selanjutnya diungsikan. Dengan bahu membahu bersama senior-senior yang juga turun tangan membantu, akhirnya barang-barang kebutuhan dapur tersebut terbebas dari basah. Sebuah Tangki gas berukuran besar pun terlihat diantara barang-barang itu sehingga membutuhkan 2 orang untuk memindahkannya.

Dari arah lapangan, para maba pun kembali mulai berdatangan setelah briefing. Maba-maba itu mencari barang bawaannya masing-masing dan selanjutnya menempati kantor desa itu. Di lokasi nurani itu terdapat pula sebuah bangunan lain yang memiliki beberapa kamar dan ruang tamu serta sebuah kamar mandi di dalam salah satu kamar itu. Para senior-senior lain, dan anak TBM ditempatkan disini. sekaligus juga dijadikan tempat untuk bagian konsumsi memasak makanan bagi semua warga kosmik nanti.


Aku pun meletakkan tas di dalam tenda bulan yang berada di baruga itu. Sandal dan celana panjang aku lepaskan karena telah kotor ketika tiba tadi. Dengan celana pendek dan kaus saja di badan tentu saja membuat dingin yang menyerang semakin terasa. Hal selanjutnya adalah mencari kehangatan. Aku pun menuju dapur. Karena aku melihat beberapa ikat kayu bakar sewaktu barang-barang diturunkan tadi. Dan betul saja, ketika tiba didapur telah ada beberapa maba yang bersiap-siap akan memasak dengan kayu bakar.

Teriakan-teriakan dari arah lapangan terdengar diantara tiupan angin kencang menarik perhatian aku. Oh rupanya sebuah tenda raksasa sedang berusaha didirikan di tengah lapangan itu. Beceknya tanah, kencangnya angin serta dinginnya udara ditambah lagi deras air hujan mengguyur badan, tidak membuat anak-anak kosmik itu gentar untuk mendirikan tenda itu. Nurani kali ini aku kira berkonsep perkemahan. Karena disekeliling tenda raksasa yang berfungsi sebagai tenda induk itu telah siap pula tenda-tenda kecil yang akan didirikan. Udara sangat dingin membuat mulut dan gigi tidak berhenti bergemeretak. Tetapi teriakan teriakan itu semakin keras menambah semangat. Tiga tiang utama di tengah tenda raksasa berwarna hijau khas tentara bertuliskan “depertemen sosial” itu sedang berusaha di pancangkan. “tarik…! Tarik…!, “disebelah kanan tahan..!” .“stoooopp….!!!” Teriakan-teriakan seperti Itulah yang terdengar mengalahkan terjangan angin dan dingin yang menusuk-nusuk. Kak opi, kak coke, kak potter, kak andi, kaki man, kak ruztan, jo (maba 2008), serta anak-anak kosmik lain mengerahkan segenap tenaganya hingga tenda itu berdiri dengan tegak. Angin masih memukul-mukul badan tenda besar itu, tapi dia tidak goyah lagi. Tali-tali pancang pun dipasang dengan patok-patok besinya menahan geraknya agar lebih kukuh berdiri. Beberapa kali tali itu sempat putus dan patoknya tercbut, tetapi dengan kesabaran dan ketekunan selama satu jam lebih akhirnya tenda itu pun menyerah. Dia berdiri dengan gagah, hijau gelap, sendirian di tengah lapangan luas. Sementara bukit dan pegunungan rumah penduduk terhampar luas di belakangnya, hujan pun turun lagi dan angin berhembus perlahan.

Ketika kembali ke dapur, maba yang bertugas sebagai seksi konsumsi telah memulai aktivitasnya memasak. Ada yang mengiris bawang, menumbuk lombok dan mencuci beberapa peralatan. Karena di dalam dapur sangat penuh, maka sebagian kegiatan masak-memasak dialihkan ke luar area dapur yang masih ada seng pelindungnya. Sebuah dandang besar berisi air telah dinaikan ke atas tiga batu besar, sementara beberapa potong kayu bakar telah menyala membara di bawahnya. Kehangatan pun pelan-pelan berpindah dan terasa ketika aku mendekat, meskipun basah karena basah oleh hujan di lapangan bersama anak-anak tadi. Tuhan menciptakan sesuatu itu selalu berpasangan, dinginnya cuaca seperti ini akan terasa nikmat jika ada panas yang mengimbanginya. Sisi positif dari sebuah proses bernama radiasi dapat dirasakan pada saat itu. Energi panas api yang berpindah menghangatkan badan di kala dingin dapat mendatangkan berbagai hal indah. Seperti kejadian selanjutnya, disamping aku telah berdiri sesosok maba perempuan mengenakan sweater hitam dan bercelana biru tua dengan tiga garis putih dan tanpa sandal. Rambutnya agak pirang, diikat dengan kearah atas. Tanpa ekspresi dia memandang kearah api yang menjilat-jilat menebarkan panas. Sesekali dia berjongkok kemudian berdiri lagi tapi tidak beranjak dari situ. “dikasih naik mi nasinya ?” tanyanya pada seorang maba lain yang berjilab hitam. (bersambung)


Nurani 2008, Dari malakaji turun ke hati (I)

Mungkin kisah seperti ini sudah terjadi di tahun-tahun sebelumnya, tetapi kali ini aku ingin berbagi dengan menuliskannya agar dia abadi.

Ini tentang acara Nurani (nuansa unik dan radikal anak komunikasi), salah satu dari 3 fase pengkaderan utama bagi mahasiswa baru di jurusan ilmu komunikasi. Dalam hal ini KOSMIK (Korps Mahasiswa Ilmu Komunikasi) yang secara struktural menanganinya langsung.

Sejak tahun 2006, Orientasi pengenalan kampus (ospek) telah dilarang oleh Bapak rektor unhas yang baru, Prof. Idrus Paturusi. Hal ini juga berpengaruh pada kegiatan Nurani. Format pengkaderan saat ini telah jauh berbeda dengan yang dulu. Tapi aku hanya ingin mengingat ini sebagai sebuah kisah yang pernah ada dan selalu ada di tahun-tahun akan datang…..

(Kamis, 15 januari 2009)

(Tamlanrea/makassar - gowa - takalar - jeneponto - malakaji/gowa lagi)

Iring-iringan truk tentara yang mengangkut anak-anak kosmik dari dalam kampus mulai terlihat dari arah pondokan, hanya terpisah oleh danau unhas saja. Aku hitung-hitung ada 2 truk tentara ditambah satu bis milik pemkab yang mengangkut anak kosmik itu. Oh masih ada satu lagi ternyata, Mobil Pickup Kijang pengangkut barang-barang logistik seperti beras, kompor dan sayur-sayuran serta lauk pauk lainnya juga turut serta.

Iring-iringan itu berhenti di depan pintu satu Unhas, aku dan patang pun ikut naik di salah satu truk itu. Selajutnya perjalanan dimulai. Matahari sebenarnya bersinar cerah, hanya tertutupi awan mendung saja,tetapi masih kelihatan sedikit-sedikit sehingga ketakutan akan turunnya hujan tidak terlalu dipikirkan. Truk yang aku tumpangi berada barisan paling depan, ditambah lagi sang sopir rupanya suka ngebut, jadi perjalanan ke lokasi nanti aku pikir akan tepat waktu.

Laju truk terdepan ini meninggalkan jauh truk lainnya dan bis pemkab dibelakang. Ada beberapa anak kosmik juga yang menggunakan motor berboncengan, aku lupa berapa motor waktu itu. Ketika memasuki daerah takalar, adzan dzuhur berkumandang. Rombongan pun berisitirahat di seberang jalan depan mesjid besar kota takalar. Ada yang langsung pergi sholat, ada yang turun dan duduk di depan kios sambil mengemil permen, minum air putih, ada juga yang membagikan salak, bahkan ada yang sempat berfoto-foto. Tidak berapa lama kemudian truk dan bis pemkab pun tiba. Ketika mendekat, ternyata bis tersebut milik pemkab maros. Entah bagaimana anak-anak kosmik ini bisa mengambil bis pemkab maros untuk pergi nurani, yang jelas acungan jempol patut aku berikan pada mereka. Dari dalam Bis pun turun satu persatu penumpangnya yang didominasi oleh mahluk hawa berdarah biru-merah dan terkenal ayu-ayunya itu. Diantara para penumpang itu aku melihat beberapa wajah asing menggunakan baju seragam putih-putih dan menggunakan scraft merah yang diikatkan pada leher mereka. Kata cokke' 05, mereka itu Tim Bantuan Medis fakultas kedokteran Unhas yang diminta bantuannya untuk ikut pada Nurani ini. Aku pun sekali lagi bersorak dan mengacungkan jempol pada terobosan baru ini. Selanjutnya anak-anak kedokteran itu dikenal dengan Anak TBM.

Tidak berapa lama kemudian, rombongan melanjutkan perjalanan lagi. Truk tumpangan aku masih menjadi truk terdepan. Sang sopir ini memang hebat. Setelah Beberapa kilometer kami lalui, truk dibelakang dan bis pemkab maros serta mobil pickup tidak kelihatan lagi. Laju truk itu membelah udara tentu saja konsekuensinya angin pun terasa lebih kencang, rambut anak-anak bertiup kesana kemari terutama kami yang duduk di belakang merasakan langsung tiupan angin itu. Di dalam truk ini rupanya sebagian besar adalah Mahasiswa baru angkatan 2008. Aku tidak terlalu mengenali mereka, hanya ada beberapa yang selalu aku lihat di kampus. Aku geli melihat tingkah mereka yang masih kikuk ketika satu mobil bersama seniornya. Ada yang tidur (atau mungkin pura-pura tidur), ada yang senyum sendiri kala mendengar candaan dari teman dan seniornya, ada juga yang sibuk dengan tempat duduk sempitnya sehingga beberapa kali ia harus memperbaiki posisi tubuhnya. Truk itu penuh sesak sehingga beberapa Maba itu ada yang bergelantungan di besi pegangan dan menempatkan tubuhnya diatas sandaran kursi temannya. Meskipun begitu semua terlihat gembira. Kadang-kadang ada yang berceloteh ngolor ngidul diikuti tawa dan calla-an.

Memasuki kota jeneponto, tepatnya di belokan sebelah kiri patung kuda yang menjadi ciri khas daerah jeneponto, truk pun berhenti lagi menunggu rombongan di belakang. Dikhawatirkan truk dan bis di belakang itu tidak tahu arah, sekalian sebagai waktu istirahat sekali lagi. Karena selanjutnya rombongan tidak akan berisitirahat lagi sampai tiba di lokasi nanti. Rombongan turun lagi, truk kami berhenti di depan penjual bahan bangunan. Anak-anak sempat juga numpang buang air kecil di rumah warga dan tentu saja foto-foto. Himas 06 an temannya bahkan sempat makan coto kuda di dekat situ. Jeneponto memang terkenal karena kudanya itu.

Setelah bis, truk, mobil pick serta rombongan motor tiba dan berisitarahat bersama, kami pun melanjutkan perjalanan. Langit agak mendung tapi tidak ada rintik hujan, kami pun tetap tenang melaju meskipun dalam kecepatan diatas normal. Ketika memasuki wilayah kelara, wanto yang kebetulan satu truk dengan aku, mengatakan bahwa kita akan melewati rumah neneknya Ilo 06. Bilqis yang sejak tadi meramaikan suasana selalu menanyakan yang mana rumah tersebut, karena tidak kunjung tiba. Kata wanto, daerah itu ada pintu airnya. Kami pun selalu menoleh ke arah kiri yang ditunjukkan wanto dan mendapati beberapa kali pintu air. Akhirnya setelah beberapa lama, terlihat pintu air besar berbeda dengan pintu-pintu air sebelumnya, dan wanto pun menunjuk pada rumah dengan arsitektur khas daerah makassar berbahan baku kayu hitam. "itu mi rumahnya" dan kami pun ber ooooo..." ria.

Setelah daerah tempat rumah milik nenek ilo itu dilewati, jalanan mulai terasa tidak mulus lagi. Aku tidak sempat membaca plang tanda pengenal daerah itu, tetapi pemandangan disini mulai indah. Hamparan sawah terlihat membentang sejauh mata memandang. Sementara jalanan mulai menanjak dan penuh lubang disana sini. Terkadang anak-anak kecil bersorak ketika truk kami melewati meraka sambil tertawa. Jalanan menanjak dan penuh lubang malah membuat laju truk kami semakin kencang. Beberapa kali kami berteriak "wooooooww.. ." ketika truk melonjak-lonjak dan ban beradu dengan aspal rusak yang berlubang-lubang terkadang penuh genangan air.

Rusaknya jalanan, tanjakan yang tinggi serta banyaknya tikungan bukan berarti kecepata truk kami bakal menurun. Sebaliknya, sang sopir malah menginjak pedal gas lebih dalam. Dinginnya tiupan angin makin terasa, apalagi kami telah memasuki daerah pegunungan. Aku mulai menyadarinya ketika melihat mawar merah khas dataran tinggi tumbuh di depan rumah penduduk sepanjang perjalanan. Semakin tinggi kami mendaki, dingin alam makin menusuk. Tetapi itu semua terbayar dengan keindahan pemandangan alam di sisi kiri truk ini. Kepala-kepala anak-anak kosmik di truk ini berlomba melongok ke situ. Padi yang mulai menguning berbaris di bedengan sawah dengan sangat rapih. Sementara di sisi sebelahnya ada barisan kebun jagung yang sedang berbuah. Di beberapa belokan pemandangannya seperti itu, tetapi selalu dalam komposisi yang berbeda meskipun isinya tetap sama, padi, jagung, gunung, lembah dan sungai. Gambaran seperti ini mungkin selalu terlihat oleh anak-anak zaman sekarang di layar-layar komputer, sehingga mereka enggan untuk melihat secara langsung ciptaan Tuhan yang maha dahsyat. Beberapa kali terdengar decak kagum dari anak-anak kosmik di truk ini. Jika truk memasuki daerah padat penduduk, maka lambaian tangan dari penduduk yang kami dapati. Tetapi di daerah tikungan dengan hamparan lukisan alam seperti tadi, maka kami akan dibelai anugerah tuhan seperti tadi. Hanya sahutan "wuuuiih.... ." atau "wooooww.... " saja yang terdengar dari kami diiringi wajah yang berseri-seri.

Berkilo-kilo meter sudah tidak terasa kami lewati dengan suguhan selamat datang dari keindahan panorama alam sulawesi selatan ini. Di suatu tanjakan yang tidak terlalu tinggi, truk pun berjalan pelan berhenti tepat di depan sebuah lapangan dengan beberapa bangunan. Ada kantor PKK, kemudian sebuah baruga berukuran sedang dan sebuah mesjid. Disebelah kanannya agak menjauh terlihat dari kejauhan sebuah lapangan sepakola dengan hamparan alam yang luas. Di baruga berukuran sedang tersebut aku melihat sebuah tenda bulan berukuran besar berdiri di tengahnya. Oh rupanya sudah sampai, disinilah malakaji itu. Ketika Baru saja aku melompat dari atas truk, dan akan menuju baruga tersebut, seseorang menyentuh pundakku, dan aku pun menoleh. Rupanya seorang Maba 2008, perempuan berparas ayu dan berjilbab. ........(bersambung)


Jumat, 06 Februari 2009

Daeng Tata, monumen hidup depan karebosi

Bola matanya berwarna kelabu seperti awan mendung yang memayungi lanit karebosi minggu pagi ini. Aku mengambil posisi duduk tepat di depannya. Di belakangku tribun besar karebosi dan lapangan yang masih dalam pekerjaan serta mall bawah tanah terpampang menghiasi tengah kota makassar. Konon katanya, lapagan karebosi adalah titik tengah wilayah kota makassar ini.

Aku menyeruput kopi susu pesananku yang baru saja terhidangkan di depanku. Sangat pas rasanya di tengah cuaca dingin begini. Aku memilih duduk disitu sambil menjaga helm dan jaket milik nendeng yang sedang pergi mengikuti acara penarikan undian memperingati HUT koran sindo makassar di area depan tribun karebosi bersama rahma dan isti.

Bapak pemilik bola mata kelabu itu sudah sejak tahun 1990 berjualan di depan karebosi. Bersama istri dan seorang anaknya, mengais rejeki lewat hidangan kopi, dan suguhan nasi bersama lauk-pauknya. Tidak ketinggalan rokok yang dijual perbungkus dan batangan serta makanan ringan. Beliau lahir tahun 1934 di enrekang. Bapaknya bersuku enrekang, sedangkan mamaknya dari sinjai. Rentan waktu sejak kalahirannya yang melewati tahun 1945 tentu saja membawanya ikut merasakan zaman penjajahan. Hingga suatu masa yang amat terkenal dan membekas di hati rakyat sulawesi selatan khusunya makassar. Tepatnya pada peristiwa yang memakan korban 30.000 jiwa. Nama westerling tidak dapat dilepaskan dari kejadian tersebut.

Ketika beliau mulai bercerita, aku mencoba melepaskan semua pengetahuan sejarah yang kuperoleh dari buku-buku sejak SD hingga SMU. Aku akan mendengarkan kisah-kisah dari mulut seorang saksi sejarah yang beruntung masih bisa hidup sampai sekarang.