Jumat, 23 Januari 2009

Idrus Paturusi, Guruku, Dokterku, Pemimpinku

Aku baru saja habis mengambil air wudhu dan melangkah masuk mesjid untuk shalat jum'at dan meliatnya disana. Rambutnya sudah banyak yang memutih. Aku tidak mengira akan bertemu dengannya sedekat ini. Hanya berjarak satu meter di depanku ia berada. Kebetulan ada pak haji pemilik photocopy sebelah warnet duduk agak dekat disampingnya tapi masih menyisakan sedikit ruang kosong untuk satu orang lagi, jadi aku pura-pura bersalaman dengan pak haji itu kemudian duduk tepat ditengah antara pak haji itu dengannya. Aku hapal model pakaian yang dikenakannya. Kemeja berlengan panjang kemudian digulung seperempatnya dan bercelana kain. Kadang-kadang dengan dasi, tapi itu jarang sekali.

Beliau adalah orang nomor satu di kampus Merah. Universitas terbesar dikawasan timur indonesia yang beberapa waktu terakhir selalu masuk televisi karena berita tawuran dan bentrokan brutalnya. Terakhir aku bertemu dengannya sewaktu terjadi demonstrasi menolak RUU BHP yang berujung pada penyerbuan polisi ke dalam kampus kami. Wajah tuanya kmbali muncul di layar kaca sore hari setelah insiden itu berlangsung. Beliau tidak segan-segan untuk turun langsung berusaha menghentikan pertikaian seperti itu. Dirinya tidak gentar berdiri di tengah-tengah massa yang mengamuk dengan hujan batu berseliweran di sekitarnya. Aku ingat sewaktu perang batu antara mahasiswa teknik dengan FIS (gabungan dari fakultas non eksak, seperti ekonomi sospol, sastra dan hukum) yang terjadi di tempat biasa (di depan UPT komputer) tahun lalu. Mulanya dengan megaphone ia berbicara mencoba menenangkan mahasiswanya. Karena tidak digubris, dia melangkah maju tepat ditengah-tengah pertikaian yang masih berlangsung, dan lantang ia berteriak kepada semua mahasiswa untuk berhenti. Aku masih sempat melihat ia menghindari terjangan batu nyasar yang hampir mengenai kepalanya. Meskipun begitu ia tidak protes, mungkin ia sangat mengenal baik tabiat keras orang selatan.

Sebenarnya aku sempat kesal kepadanya beberapa waktu lalu dengan kebijakannya melarang segala bentuk pengkaderan dan penerimaan mahasiswa baru bersifat perpeloncoan dan kekerasan. Dan beliau tidak main-main, beberapa mahasiswa di skorsing atas pelanggaran terhadap kebijakan itu. Aku tak tahu kalau mungkin ada yang di keluarkan. Hal itu dimulai pada tahun 2006, tidak lama setelah ia baru saja dilantik menjadi rektor menggantikan Bapak Rady A. Gani. Otomatis sejak saat itu, tradisi ospek di kampus merah mulai menghilang. Beliau pasti sadar betul akan keputusan yang diambilnya. Semua Ini pasti demi kebaikan dimasa mendatang. Perlahan-lahan aku pun mulai menyadari itu.

Sebelum menjadi rektor, jabatan dekan fakultas kedokteran pernah diembannya. Aku tak tahu kalau beliau juga adalah dokter lapangan. Dokter dalam artian seseungguhnya yang terjun langsung ke lokasi bencana. Aku kagum membaca kisah-kisahnya yang dimuat di harian kompas dan tribun timur. Mulai dari tsunami aceh, gempa nias, konflik ambon hingga jajak pendapat timor-timur hingga perang afganistan. Beliau turun langsung memimpin operasi kemanusiaan menangani korban-korban yang berjatuhan.

Ketika kotak amal lewat di depannya, beliau sempat menyelipkan selembar limapuluhribuan yang dilipat kecil sekali, tetapi karena sangat dekat aku masih sempat melihatnya. Sekitar pukul setengah satu Ikamah berkumandang, kami pun shalat jumat.

Seusai shalat, aku bersalaman dengannya, setidaknya inilah pengobat hatiku karena tidak sempat berjabat tangan dengannya di baruga waktu wisuda kemarin. Aku sudah cukup puas. Aku semakin berharap di tangan beliau masa depan Unhas akan lebih baik.


Foto diambil waktu selesai menghentikan tawuran antara Fak. teknik dan Fis beberapa waktu lalu

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Prof idrus, tuami kodong, riwayatmu dulu

Dr.Abdul Gamal Angkatan 90 FK UNHAS

dr.idrianti idrus mengatakan...

terimakasih blog ta....terimakasih banyak...saya sampai terharu bacanya...