Jumat, 06 Februari 2009

Daeng Tata, monumen hidup depan karebosi

Bola matanya berwarna kelabu seperti awan mendung yang memayungi lanit karebosi minggu pagi ini. Aku mengambil posisi duduk tepat di depannya. Di belakangku tribun besar karebosi dan lapangan yang masih dalam pekerjaan serta mall bawah tanah terpampang menghiasi tengah kota makassar. Konon katanya, lapagan karebosi adalah titik tengah wilayah kota makassar ini.

Aku menyeruput kopi susu pesananku yang baru saja terhidangkan di depanku. Sangat pas rasanya di tengah cuaca dingin begini. Aku memilih duduk disitu sambil menjaga helm dan jaket milik nendeng yang sedang pergi mengikuti acara penarikan undian memperingati HUT koran sindo makassar di area depan tribun karebosi bersama rahma dan isti.

Bapak pemilik bola mata kelabu itu sudah sejak tahun 1990 berjualan di depan karebosi. Bersama istri dan seorang anaknya, mengais rejeki lewat hidangan kopi, dan suguhan nasi bersama lauk-pauknya. Tidak ketinggalan rokok yang dijual perbungkus dan batangan serta makanan ringan. Beliau lahir tahun 1934 di enrekang. Bapaknya bersuku enrekang, sedangkan mamaknya dari sinjai. Rentan waktu sejak kalahirannya yang melewati tahun 1945 tentu saja membawanya ikut merasakan zaman penjajahan. Hingga suatu masa yang amat terkenal dan membekas di hati rakyat sulawesi selatan khusunya makassar. Tepatnya pada peristiwa yang memakan korban 30.000 jiwa. Nama westerling tidak dapat dilepaskan dari kejadian tersebut.

Ketika beliau mulai bercerita, aku mencoba melepaskan semua pengetahuan sejarah yang kuperoleh dari buku-buku sejak SD hingga SMU. Aku akan mendengarkan kisah-kisah dari mulut seorang saksi sejarah yang beruntung masih bisa hidup sampai sekarang.

Tidak ada komentar: