Senin, 09 Februari 2009

Nurani 200, Dari malakaji turun ke hati (III)

Anggukan maba berjilbab hitam itu pun menjadi legitimasi bagi si gadis pirang untuk mengambil langkah selanjutnya. Belakangan baru aku ketahui ternyata maba berjilbab hitam itu adalah koordinator seksi konsumsi. Karena namanya baru kuketahui nanti, untuk sementara kami memanggilnya ibu mandor.

Pandangan gadis pirang itu lalu berpindah kepada beras yang sejak tadi sudah dituang kedalam wajan besar untuk dimasak dengan air. Seolah sudah mengetahui maksud si gadis pirang, jo salah seorang maba cowok yang juga berdiri tak jauh dari situ langsung mengambil posisi akan mengangkat wajan besar berisi beras tadi. Si gadis pirang pun tidak membiarkan jo mengangkatnya sendirian, perlahan disingsingkan lengan bajunya kemudian dengan aba-aba tak terdengar wajan itu pun terangkat ke atas tungku api.

Jadilah kami bertiga menunggui beras tersebut hingga mendidih dan habis airnya. Cara memasak nasi seperti ini sudah lazim dilakukan untuk mempercepat proses penanakan nasi nantinya. Terkadang si gadis pirang membolak-balik beras tersebut agar tidak lengket menggunakan sodet yang biasa dipakai untuk menggoreng. Sembari gadis pirang itu “beraksi” dengan sodetnya, aku dan jo bergantian memasukkan kayu baru dan mengatur agar nyala api tetap pada kondisi yang normal, tidak mati atau tidak terlalu besar. Asap dari api selalu mengepung kami, dan arahnya tidak menentu. Karena kami dekat sekali dengan api maka mau tidak mau muka kami menjadi sasaran utamanya. Beberapa kali si gading pirang menutup penuh mukanya ketika asap menyerbu dengan sweater hitamnya, saat itulah kami akan tertawa terpingkal-pingkal. Karena meskipun sudah bau asap si gadis pirang tetap enggan untuk beranjak dari situ, selain udara dingin terus menusuk, kehangatan dekat api merupakan hal yang paling nikmat di tengah cuaca seperti itu.

Melihat kami asyik bercanda di dekat api dan tidak merasakan dinginnya cuaca sekitar, membuat beberapa warga kosmik lainnya mendekat. Mulanya si ruztan, yang baru pulang dari membantu mendirikan tenda-tenda kecil langsung bergabung mendekati api. Dinginnya malakaji membuat kaki dan tangannya tidak terasa panas sewaktu di dekatkan pada pusat api meskipun dalam jarak hanya sekian millimeter. Kemudian cokke pun ikut nimbrung, lalu disusul isal, debra, dan arshanty. 3 nama yang aku sebutkan terakhir itu adalah anak “trust 06” termasuk ruztan. Sementara cokke’ sendiri dari “guard 05”.

Tidak terasa air dalam wajan besar sudah kering seiring dengan itu beras pun menjadi setengah matang. Tinggal dikukus dalam dandang. Jo pun mengambil dandang dari dalam dapur, si gadis pirang bersiap memindahkan beras dari wajan besar yang telah diangkat oleh ruztan ke tanah. Beberapa anak kosmik lainnya sempat singgah sebentar kemudian berlalu lagi masuk ke dalam dapur. Debra dan arshanty pun ikut masuk ke dalam. Tinggal isal bersama si gadis pirang, aku, jo dan ruztan. Cokke juga telah pergi entah kemana. Dari arah pintu, si ibu mandor mengawasi pekerjaan kami. Si gadis pirang memindahkan beras ke dalam dandang yang telah siap selanjutnya jo bersamaku mengangkatnya ke atas tungku kembali. Sekarang tinggal menunggu masaknya nasi, karena lauk pauk sudah disiapkan sejak berangkat tadi hanya tinggal dipanaskan saja. Ibu mandor tersenyum-senyum sendiri di ambang pintu dapur, aku pun menanyakan namanya. “Mifda, kak!” jawabnya singkat. Ketika aku menoleh ke samping, telah ada 2 orang maba cewek lagi sudah berjongkok dengan manis. Si gadis pirang pun memperkanalkan satu persatu 2 pendatang baru itu.”yang itu feny kak, terus yang berkacamata disebelahnya, lirih. Aku mengulanginya lagi sambil menujuk mereka, “feny” kepada yang berambut pendek dan “lirih” kepada rambut panjang berkacamata. Dari cara bicaranya, lirih dapat langsung kutebak. Ia pasti orang toraja, sementara feny belum kuketahui pasti.

Ketika menoleh lagi kearah gadis pirang, aku melihat satu sosok lagi sedang berkacak pinggang dibelakangnya. Aku sangat mngenal anak kosmik satu ini. Bicaranya sangat cepat tetapi herannya, tidak pernah satu katapun yang salah atau belepotan dalam setiap ucapannya. Dia mampu meniru beberapa logat khas daerah yang berbeda seperti toraja, kendari, Kalimantan bahkan papua. Malah aku bingung sebenarnya dia berasal dari daerah mana. Kulit putihnya sangat terlihat kontras dengan baju hitamnya. Suaranya keras dan lantang, rambut panjangya dibiarkan tergerai dengan mata bulat dan besar yang selalu bergerak-gerak mengamati pekerjaan si gadis pirang. Namanya mirip nama anak lelaki, tingkahnya pun kadang tomboy, tetapi sebenarnya ia sangat feminim, periang dan baik hati. Ari, singkat saja teman-temannya memanggil dia demikian.

Kedatangan ari menambah semarak acara masak nasi kami dengan celoteh-celotehnya, kadang-kadang ari meminta jo mengecek air di tungku sebelahnya apakah sudah mendidih atau belum. Ari pun beberapa kali menanyakan kepada jo apakah dia tidak merasakan udara dingin ini karena jo tidak mengenakan jaket ditambah lagi celana panjangnya digulung hingga batas paha. Jawaban jo sederhana, “ranselku tidak tahu kemana, sementara semua baju disitu. Lagian juga daerah asalku, lebih dingin dari sini. Belum apa-apa dinginnya disini dibanding di toraja” katanya. Aku geli melihat tingkah mereka satu persatu terutama kala teman-teman jo yang lain mengejeknya tetapi jo hanya senyum-senyum saja.

Si gadis pirang sejak tadi berdiri dengan tangan tidak lepas dari sodetan terlihat melamun memandangi asap entah apa di dalam pikirannya, atau memang begitukah dia orangnya ? Tiba-tiba si mifda mandor dapur, meminta tolong agar nasi itu dicek apakah sudah matang atau belum. Gadis pirang pun mengangkat tutup dandang tersebut, asap mengepul dengan hebatnya, anak-anak yang duduk sekitar api mencoba mengambil hangat asap itu, hm….. terasa nikmat hawa seperti ini. “sedikit lagi” kata gadis pirang setelah mencoba nasi tersebut. Jo kembali memasukkan kayu bakar. Ruztan mengaturnya, nyala api itu tetap terjaga, sesekali meniupnya bila mati lagi.

Sejak tadi aku baru sadar ternyata ada isal disamping aku duduk memandangi nyala api itu. Tangannya pun tidak lepas dari posisi seperti orang mengeluarkan tenaga dalam. Menyerap hangat sebanyak-banyaknya. Spontan saja aku menanyakan apakah ia punya pulsa. Isal mengangguk dengan senyum di wajah khasnya. Kalau dalam posisi senyum seperti itu maka mata isal akan mengecil hingga nyaris tak terlihat. Santy (rush 04) lah orang pertama yang menyadari akan hal ini. Katanya senyum isal mirip senyuman almarhum mantan presiden soeharto yang lebih terkenal dengan istilah “smiling general”. Coba saja kalian perhatikan dengan seksama.

Isal berasal dari bau-bau sulawesi tenggara. Logat tenggaranya masih terasa walaupun telah 2 tahun dia di makassar. Tubuhnya menjulang diantara teman-temannya, sehingga kata arshanty sangat mudah menemukan isal diantara orang-orang. Dengan jilbab putih dan baju lengan panjang biru langit isal berjongkok di depan api. Ia juga mengenakan selimut berwarna hijau terang, katanya itu sarung khas buton. Kainnya ditenun dengan benang pilihan. Aku melihat kerapatan kain tersebut dari jarak dekat. Tentulah butuh ketekunan dan ketelitian yang tinggi untuk membuat kain seperti itu. Walaupun tidak terlalu tebal, tetapi hangat bila dilingkarkan pada tubuh kita. Isal kembali tersenyum dan memandangi api lagi.

Pikiranku melayang ke makassar, aku ingin meng-sms teman aku untuk segera datang kesini. Jadi aku meminjam hp milik isal. Dengan agak kaku aku menekan tombol hp itu. Isal sempat berpesan, “kalau mau datang bawa jaket 2, disini sangat dingin. Jangan lupa tulis nama ta’ ya sebagai pengirim”. Aku pun tambah bersemangat memencet tombol untuk merangkai kalimat-kalimat itu. Sms pun terkirim, seiring itu harapan-harapan mulai aku panjatkan.
(bersambung)


Tidak ada komentar: