Selasa, 19 Agustus 2008

Yang ke 67

Tanggal 17 agustus kemarin saya ke rumahnya Kak Syam. Memasuki lingkungan perumahan disitu, setiap ruas jalan dihiasi dengan baruga kecil beratapkan bendera merah putih. Mungkin inilah salah satu cara penduduk disini untuk memperingati hari kemerdekaan republik ini. Saya menurunkan kecepatan motor untuk menikmati tiap lembar bendera merah putih yang seakan melintas diatas kepala saya, padahal sebenarnya motor saya yang bergerak maju. Tapi begitulah, fantasi akan perjuangan bangsa itu seakan hadir bersama di setiap 3 meter celah antara baruga yang satu dengan baruga yang lain.

Tiba di dekat gang terakhir menuju rumah kak syam, Sejenak hening, dan saya mematikan motor sebentar. Bendera-bendera itu masih berkibar ditiup angin, tapi tetap diam di tempatnya.

Saya jadi teringat beberapa tahun yang lalu, setiap menjelang tanggal ini, saya dan teman-teman di sekitar rumah selalu bersemangat membuat baruga-baruga kecil serupa disini. Mengecat pagar, dan membuat meriam kaleng. Dan ketika tiba tanggal 17, maka berbondong-bondonglah kami pergi ke sekolah untuk mengikuti upacara bendera dengan khidmat. Salah satu bagian dari acara upacara itu yang paling kami tunggu-tunggu adalah pada saat “detik-detik proklamasi”. Ketika protocol upacara berkata : “detik-detik proklamasi”, maka mengaumlah seluruh klakson kendaraan disekitar tempat upacara tersebut. Bedug masjid dipukul bertalu-talu, sirene ambulans dan mobil pemadam kebarakaran berteriak-teriak memekakkan telinga. Tapi kami tetap diam, menyerapi segala atmosfir kemerdekaan yang ditimbulkan gabungan seluruh suara tersebut. Sekitar 3 menit peristiwa ini berlangsung. Ketika suara-suara itu berhenti. Maka terdengarlah suara bung karno membacakan naskah proklamasi.

P R O K L A M A S I

Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.

Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen '05

Atas nama bangsa Indonesia.


Soekarno/Hatta.

Suara bung karno tersebut bukanlah suara rekaman dari radio atau pita kaset. Tetapi suara orang asli yang hadir pada saat itu. Saya tidak tahu nama bapak tua yang membacakan teks proklamasi dengan sangat mirip suara bung karno tersebut. Tetapi kabarnya, bapak tua tersebut memang telah lama mempunyai tugas sedemikian unik. Selepas pensiunnya, pekerjaannya hanya satu kali setahun. Membaca teks proklamasi itulah tugasnya. Dengan itu, dia behasil membawa suasana 17 agustus tahun 1945 di tempat kami. Terasa betul badan saya merinding dibuatnya.

Kini, setelah saya hitung-hitung selama berada di sini, selama itu pula saya tidak pernah mengikuti upacara bendera. Kemalasan saya rupanya terlalu egois yang memerintahkan untuk tetap tiduran saja atau menonton televisi ketika upacara tersebut berlangsung. Jangankan upacara, di sekitar tempat saya berada, bendera merah putih pun jarang di dapati. Entah ideologi dalam kemahasiswaan disini yang membatasi itu atau apa, saya juga tidak tahu.

Ah Saya jadi rindu berdiri di lapangan seperti itu….

Tidak ada komentar: