Selasa, 08 September 2009

Puasa hari ketujuhbelas, Perempuan yang tak suka bicara

Aku tidak menanyakan namanya waktu pertama kali bertemu dengannya, melainkan menanyakan buku apa yang sedang dipegangnya. Ternyata itu sebuah buku tulis berisikan sebuah cerita pendek setengah jadi. “Ini tugas yang diberikan oleh kak debra dari biro CSC kosmik” katanya.

Waktu itu Ia masih baru di kampus ini, dari tatapan mata kecilnya yang sayu, aku tahu dia sedang merasa heran pada rambut gondrong dan celana jeans robek-robek milikku. Tak ragu ia menanyakan apakah aku tidak kena teguran dari dosen dengan penampilan seperti itu jika masuk kuliah. Aku hanya tertawa, dan kukatakan bahwa aku tak kuliah lagi.

Jika ada saat yang membuat betah hingga waktu tidak terasa sudah berjalan sejauh ini, maka bagiku itu adalah saat di kampus merah, dalam pelukan warna biru merah yang kami sebut kosmik. Aku tak menyangka Sembilan tahun sudah aku melewatinya. Bertemu dengan berbagai macam orang dalam pribadi kompleks, aneh dan lucu yang membuat tangis hingga tawa berderai. Aku pernah berhadapan hujan batu dan tembakan peluru serta gas airmata, atau makian dari orang yang tak kukenali bahkan tikaman pisau, tapi bertemu dengan orang yang mengatakan dirinya lebih suka menulis daripada bicara, ini baru pertama kali.

Gerak geriknya memang tidak terlalu lincah, tapi dia bisa mengimbanginya dalam setiap tulisan yang dihasilkannya. Dia membuktikan itu. Mulanya setiap orang pasti akan menulis tentang dirinya sendiri. Tak terkecuali dirinya juga. Dia mulai menulis dari rasa kesalnya kepada salah seorang temannya hingga rasa nikmat menanti cokelat dari seorang teman, atau tentang idolanya seorang penabuh drum di kelompok band yang terdiri dari para mantan model. Suatu hari ia bercerita tentang solidaritas. Kondisi aneh yang ia temui di lingkungan dan keluarga barunya di kampus merah. Kondisi yang Membuatnya bingung harus bersikap bagaimana pada setiap orang. Dan untuk itulah dia harus belajar.

Bukti bahwa perempuan lebih menggunakan perasaannya dibanding rasio, baru aku temukan setelah melihat langsung padanya. Ternyata mereka memang perasa. Justru yang membuatnya berbeda adalah caranya menyalurkannya. Secepat itu dia marah atau kecewa, secepat itu pula dia akan melupakannya. Tapi dalam hati seseorang siapa yang tahu ?

Kami pernah terlibat dalam sebuah pembuatan film menyambut ulang tahun kosmik. Aku membuatnya marah waktu itu di salah satu lokasi pengambilan gambar, dan keesokan harinya ia kembali ceria dan menyapaku lebih dulu.

Dia adalah sahabat yang selalu mendengarkan, selalu menemani, dan selalu pula *dicallai (diejek dalam bahasa Makassar). Jika suatu saat kalian bertemu dengannya, tolong jangan membuatnya marah apalagi kecewa, karena walaupun dia bisa cepat melupakan, tetapi dia punya hati juga, meskipun “sebenarnya hati adalah otot terkuat pada tubuh manusia” (dari film : life before her eyes)

Baru baru ini aku membuatnya marah, tapi kali ini aku sungguh sangat keterlaluan.

Tidak ada komentar: